Kamis, 17 Juni 2010

Kisah ASI: Perjalanan 3 Botol Cinta

Kisah ASI: Perjalanan 3 Botol Cinta
Kamis, 17/06/2010 07:36 WIB | email | print | share

Oleh A. Mustari

Halo, kami tiga buah botol. Sebenarnya tak ada yang istimewa dari diri kami. Kami hanya botol minuman kemasan vitamin C yang banyak dijual di retail-retail. Ketika isinya habis, sebentar saja kami sudah masuk ke dalam bak sampah dan diangkut ke TPA terdekat.

Tapi tunggu… di sinilah perjalanan cinta kami dimulai!

Seorang bapak pemulung tua memungut kami dengan binar cinta dan harapan. Setidaknya ada rupiah yg bisa dibawanya pulang. Sampai ke pengepul, kami digosok, distelisisasi, hingga.. cling! Tak ada yang menyangka kami pernah teronggok di tempat sampah. Kerennya… recycle nih.

Meski kami sering tak suka dengan sesuatu yang berbau eksploitasi, kali ini kami senang diperdagangkan. Mengapa? Karena pedagangnya mengambil kami dengan halal, malah mengurangi volume sampah ibukota. Terlebih lagi… pemulung dan pengepulnya mencari usaha yang halal meski tak sedikit orang yang mencibir. Tak ada yang perlu merampok kami untuk mencari uang. Kami pun menjadi apa adanya diri kami. Dengan kami, mereka menyuapkan sesendok nasi untuk anak dan istrinya. Di dalamnya tersimpan berkah, doa, dan cinta.

Dan… nah! Kami pun sampai di tengah keluarga kecil sederhana. Seorang ayah yang suka makan, ibu yang cuek, anak perempuan 5 tahun yang tidak bisa melakukan sesuatu tanpa gerakan dan celotehan, dan seorang bayi mungil nan cantik berusia 1 bulan.

Di sinilah perjalanan cinta kami BENAR-BENAR dimulai!

Satu bulan sebelum mulai meninggalkan cuti melahirkannya, ibu si Baby sudah mulai mensterilkan kami lagi dan lagi. Di tengah waktunya mengurus seorang ayah yang suka makan, anak perempuan 5 tahun yang tidak bisa melakukan sesuatu tanpa gerakan dan celotehan, dan seorang bayi mungil nan cantik, ia mengisi kami satu persatu. Setelah mencuci popok-popok dan pakaian, setelah menyetrika, setelah memasak, setelah mengedit naskah, setelah melayout, setelah mendesain, setelah menulis ide-idenya, sambil menahan kantuk, ia memaksakan diri untuk mengisi kami.

Mengisi kami dengan cairan cinta….

Sesungguhnya bagi perempuan itu, tidak ada yang mewajibkannya bekerja. Sama halnya dengan tidak wajibnya ia untuk berada di rumah saja. Ah, dia lebih suka memakai kata berkarya daripada bekerja. Baginya semua hanyalah pilihan. Ketika situasi dan kondisi memberikannya jalan untuk berkarya, ia menjalaninya dengan senang hati. Menjadi ibu bekerja bukan berarti tidak mencintai dan mengabaikan anak-anak. Banyak juga ibu yang selalu di rumah nyatanya yang stres karena anak-anaknya. Tidak selalu satu ditambah satu sama dengan dua, prinsipnya. Ia hanya berusaha untuk sedikit cerdas menyiasati dan berdamai dengan kondisi yang serba terbatas. Karena ia tahu, betapa banyak ibu bekerja yang dalam hatinya menjerit karena naluri keibuannya menuntutnya untuk selalu mendampingi anak-anaknya. Ia pun salah satu di antaranya. Tetapi ia memilih untuk tersenyum, bukan menjerit. Pun ketika ia memilih untuk hanya memberi ASI kepada anaknya, bukan susu formula, ia berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan yang terbaik sambil tetap tersenyum.

Dua bulan berlalu. Akhirnya ia mulai harus benar-benar meninggalkan kebahagiaan sejatinya. Ia harus mulai bekerja lagi. Si ibu mulai jarang kelihatan di rumah. Setiap pagi, ia membawa tiga di antara kami yang kosong, bersama dua tangkup es biru. Ia sering dibilang keras kepala dan memaksakan diri, tapi ia tak pernah keberatan. Apalah artinya tuduhan bila dibayar dengan kepuasan rasa telah berusaha memberikan yang terbaik untuk bayi kecilnya. Bagi sebagian ibu, dapat memberikan anaknya asi eksklusif adalah sebuah kewajaran, tetapi baginya --yang selalu bekerja sejak pagi hingga sore-- itu adalah sebuah pencapaian yang membahagiakan.

Setelah menciumi bayinya tak ada henti pagi itu, tak lupa membalurinya dengan doa, si ibu melangkahkah kaki panjang-panjang. Ia melompat ke dalam angkot, menyusup ke dalam ular besi yang selalu penuh sesak, menuju tempatnya berkarya. Baginya semua adalah karena cinta. Itulah bedanya bekerja dengan berkarya. Ketukan keyboard dan goresan kursor yang tercipta karena cinta memiliki tenaga yang akan membuatnya diterima oleh hati siapa pun. Tidak selalu indah, tetapi kekuatannya dapat dirasa.
Itulah juga yang kami rasakan. Kami botol-botol cinta, begitu sebutan darinya. Bahagia bukan kepalang. Kami hanya botol-botol seribu rupiah. Tapi kami terisi cairan tak ternilai rupiah. Makanan terbaik bagi bayi yang baru mengenal dunia.

Satu demi satu kami terisi penuh. Ketika matahari mulai lelah, hendak menuju kasur empuknya, si Ibu dengan riang memasukkan tubuh kami ke dalam ranselnya yang selalu kembung. Kami ikut terguncang ketika ia berlarian mengejar ular besi yang tampaknya terlalu dirindu. Meski tak sekali ia terjatuh mengejar ular yang sering mengecewakan itu, tak ada jera sang ibu terus berharap. Tampak buncahan rasa rindu karena memikirkan bayinya yang lucu. Sejenak ia tersenyum membayangkan hidungnya digigiti gigi muda yang baru berputik, rambutnya ditarik jemari kecil nan gendut-gendut, roknya digelantungi tubuh kecil yang mulai belajar berjalan.

Kami, tiga botol cinta, semakin didekapnya erat ketika ular besi yang digelantungi manusia bak semut mulai muncul. Tubuh mungilnya melompat ke dalam dan terombang-ambing sejenak. Di dalam ular besi yang membuat orang kurus itu pun ia tetap tersenyum, memikirkan obat anti-depresannya. Obat anti depresan yang mulai pintar merengek dikala melepas kepergiaannya setiap pagi.

Dan... terbanglah kami bersamanya. Kami, tiga botol cinta....

***
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (al-Baqarah : 233)

***

Selasa, 15 Juni 2010

"hadirmu kembali buah hatiku"

"kesundulan" kata itu yang saat ini paling cocok dengan keadaanku. baru saja melahirkan 6 bulan yang lalu....eh sekarang hamil lagi 4 bulan.
Ya Allah pertama kali menyadarinya rasanya pengeeen nangisss.....gimana enggak? ngeliat anakku yang masih kecil,imut n ngegemesin. ngebayangin gimana jadinya kalo aku g bisa kasih perhatian full buat dia, yg seharusnya sudah menjadi haknya.bagaimana aku harus mengurus kedua anakku yang masih bayi dengan baik, mampukah aku menjadi ibu yang baik jika sekarang saja aku tak bisa menjadi ibu yang baik untuk anakku yang pertama.
belum lagi kalau mendengar kata-kata tetangga atau orang lain " kasian, masak belum gedehe udah mau punya dedek lagi" ato yang lebih berat lagi " apa orang tuanya gak mikir yah, gak kasian sama anaknya".....
Ya Rabbi....sesungguhnya akupun tak menginginkan hal ini terjadi, namun aku juga tak bisa menolaknya.
aku harus tegar dan sabar menerima cobaan dan amanah dari Mu ini ya Allah.aku tak ingin menyia-nyiakan kembali anak yang telah kau berikan kepada hamba.aku tidak ingin anakku kelak merasa menjadi anak yang tidak diharapkan, aku tetap menyayanginya kapanpun dia akan hadir di dunia ini. Sekarang aku lebih fokus bagaimana agar aku bisa merawat kedua anakku kelak dengan baik.
dan Alhamdulillah suamiku dan keluargaku adalah orang-orang yang selalu mendukungku...
Terima Kasih Ya Allah
Jadikanlah kami sebagai hambaMu yang banyak bersyukur....
amin

Jumat, 04 Juni 2010

bingung menulis

Bismillah...
sebenarnya aku orang yang memiliki segudang ide di dalam otakku. tapi setiap ingin menuliskannya ide-ide itu tak mau keluar dan hanya berdiri di sudut otakku yang paling gelap.
aku selalu menganggap bahwa menulis haruslah berbobot, tulisan kita haruslah berkuantitas, alias panjang.
tapi untuk ukuran pemula seperti saya apakah harus seperti itu??? bukankah orang bisa karena biasa??
nah kalo belum biasa aja sudah dipatok seperti itu mungkin selamanya tak akan bisa menulis, selamanya tak akan biasa dan selamanya tak akan bisa.
Berbekal keyakinan itulah saya coba menulis, walaupun tidak berbobot walaupun tidak berkuantitas....... :)